sumber: Viva
Bersama Griya Schizofren, Triana Rahmawati Menuju Indonesia yang Berkelanjutan
Seorang pemengaruh gusar. Melalui saluran YouTube-nya dia menyesalkan somasi dari suatu organisasi tertentu. Isi somasi tersebut memintanya mengganti julukan “orang gila” dengan “ODGJ” yang merupakan singkatan dari Orang dengan Gangguan Jiwa.
Pemengaruh tersebut beralasan, penghalusan kata tak mengubah nasib orang yang mengalami gangguan jiwa. Toh, mereka masih berkeliaran di jalan umum, kotor dan tak terurus.
Sang pemengaruh melupakan fakta bahwa orang dengan masalah kejiwaan tidak hanya mengalami masalah pengobatan, juga stigma bahwa pengidap ODGJ adalah aib dan kerap menjadi bahan olok-olok.
Seperti penghalusan “penyandang disabilitas", untuk "penyandang cacat" yang dianggap berkonotasi negatif. Istilah ini bahkan telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Namun, apakah penghalusan istilah ini otomatis menghapus stigma, memberikan aksesibilitas ruang publik, memberikan pekerjaan dan solusi masalah lain yang harus dialami penyandang disabilitas lainnya?
Tentu tidak. Untuk itulah Triana Rahmawati hadir. Bersama rekan-rekannya, Febrianti Dwi Lestari dan Wulandari, Triana mendirikan komunitas Griya Schizofren untuk mengusir stigma orang dengan masalah kejiwaan.
Sebentar, apakah gangguan mental dan gangguan jiwa merupakan kondisi yang sama?
Baca juga:
Peringkat 3 Dunia, Yuk Eliminasi Kusta dengan Suarakan Isunya
Dengan Social Entrepreneur, Taufan Bantu UMKM dari Jerat Rentenir
Daftar Isi:
- Stigma Membelit Orang dengan Masalah Kejiwaan
- Usir Stigma Bersama Griya Schizofren
- SOLVE, Wujud Sociopreneur Triana Rahmawati
- Triana Rahmawati dan SATU Indonesia Awards
Ternyata jawabannya adalah:
Gangguan jiwa terjadi ketika gangguan mental tidak ditangani dengan baik dan memburuk.
Contoh gangguan mental: istri yang mendapatkan kekerasan emosional, remaja yang mengalam bullying, pekerja yang mengalami depresi karena mendapat tekanan terlalu parah dari atasan.
Orang yang mengalami gangguan mental akan mempunyai masalah fisik, mental, sosial, dan pertumbuhan kualitas hidup, sehingga berpotensi mengalami gangguan jiwa.
Sedangkan pengidap gangguan jiwa adalah orang yang sudah didiagnosis gangguan jiwa, seperti bipolar disorder, skizofrenia, dan lainnya.
Menurut sumber Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes), sekitar 1 dari 10 orang di Indonesia mengidap gangguan mental. Sementara itu, menurut Sehat Negeriku, 6,1% penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental.
Berikut ini beberapa data terkait gangguan mental di Indonesia:
- Survei pada 2021 menunjukkan bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir.
- Diperkirakan 4,4% remaja berusia 10–14 tahun dan 5,5% remaja berusia 15–19 tahun mengalami gangguan kecemasan.
- Diperkirakan 1,4% remaja berusia 10–14 tahun, dan 3,5% dari remaja berusia 15–19 tahun mengalami depresi.
- Pada Januari-Juni 2023, POLRI melaporkan bahwa terdapat 663 kasus bunuh diri di Indonesia.
Apa kesimpulan yang bisa ditarik dari data di atas?
Ya, terganggunya produktivitas! Bagaimana sumber daya manusia (SDM) sebanyak itu bisa berkarya optimal bagi Indonesia yang berkelanjutan, jika sebagian dari antara mereka mengalami gangguan kejiwaan?
Masalah orang dengan masalah gangguan kejiwaan tidak hanya terbentur pada pengobatan, namun juga stigma.
Seperti diketahui fasilitas BPJS Kesehatan bisa digunakan untuk mengobati pasien dengan masalah kejiwaan, tidak demikian halnya dengan stigma.
Stigma yang dialami penderita masalah kejiwaan sungguh buruk, dan telah berlangsung puluhan tahun, bahkan mungkin ratusan tahun. Untuk mengusir stigma pula Rumah Sakit Jiwa di Jl. L. L. R.E. Martadinata, Bandung berganti nama menjadi Grha Atma.
Namun itu belum cukup, dibutuhkan tangan-tangan yang peduli. Tangan-tangan milik individu yang tidak merasa jijik melihat penderita masalah kejiwaan. Individu yang mengajak individu lain untuk mengusir stigma.
Usir Stigma Bersama Griya Schizofren
Adalah Triana Rahmawati, perempuan muda kelahiran Palembang, 15 Juli 1992 yang tertarik dengan orang dengan masalah kejiwaan ini, sesuai bidang keilmuannya, di jurusan Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah.
Tak jauh dari kampusnya berdiri Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta, serta panti rehabilitasi bagi orang dengan masalah kejiwaan, di dekat tempat tinggalnya.
Bersama rekan-rekannya, Febrianti Dwi Lestari dan Wulandari, Triana Rahmawati memulai langkahnya melalui Program Kreativitas Mahasiswa-Pengabdian Masyarakat (PKMPM) UNS dengan pendekatan Ilmu Sosiologi terkait orang dengan masalah kejiwaan.
Paska PKMPM, ketiganya sepakat untuk meneruskan aktivitas mulia ini dengan mendirikan komunitas Griya Schizofren pada 10 Oktober 2012.
Pemberian nama Griya Schizofren sesuai semangat komunitas mereka. Griya berarti rumah, Sc-Social berarti komunitas sosial, Hi-Humanity berarti komunitas dibangun karena rasa kemanusiaan, serta Fren-Friendly bermakna membangun prinsip persahabatan dengan ODMK.
Tujuan pembentukan Griya Schizofren adalah untuk mengajak lebih banyak anggota masyakat menjadi relawan yang peduli dan memahami orang dengan masalah kejiwaan, serta turut dalam upaya menepis stigma yang membelit mereka.
Dengan demikian, mereka akan lebih peduli pada anggota masyarakat dengan masalah gangguan mental dan membantunya agar tidak terlanjur parah dan menjadi gangguan jiwa.
Apa saja kegiatan para relawan? Mereka bisa bergabung dengan memilih kelas yang disiapkan Griya Schizofren bagi penderita masalah kejiwaan, seperti kelas bermusik, kelas Eat & Fun, kelas bernyanyi, kelas menggambar, kelas mendongeng dan kelas mewarnai.
Selain itu juga ada aktivitas bersama, seperti salat berjamaah, berbuka puasa bersama saat Ramadhan dan lainnya.
Hasil karya pengidap masalah kejiwaan ternyata bagus-bagus, hal ini memicu kreativitas Triana mengajak mereka berkolaborasi dengan bisnis souvenir yang telah dirintis Triana sejak tahun 2015, yaitu Givo Souvenir.
sumber:youngster.id |
SOLVE, Wujud Sociopreneur Triana Rahmawati
Pembiayaan kerap menjadi kendala aktivitas sosial, termasuk kegiatan yang dilakukan Griya Schizofren. Walau setiap relawan dan pengurus (tentu saja) tidak menerima honor, namun tetap muncul biaya yang tak terhindarkan, seperti biaya pembelian bahan untuk kelas menggambar dan mewarnai.
Agar aktivitas berkelanjutan, pengurus Griya Schizofren harus melakukan kewirausahaan sosial (sociopreneur) untuk mengisi kas komunitas, dan membiayai aktivitas-aktivitas terkait.
Melihat hasil karya pengidap masalah kejiwaan sangat menarik, muncul ide Triana Rahmawati mewujudkannya dalam bentuk pouch, tottebag, dompet, backpack,dengan berbahan blacu, kanvas dan spoundbound.
Karya yang merupakan souvenir pernikahan tersebut diberi label SOLVE , singkatan dari Souvenir and Love, dan merupakan bagian dari bisnis Triana yang telah dirintis sejak tahun 2015, yaitu Givo Souvenir.
Produk SOLVE yang dipasarkan melalui media sosial dan beberapa e-commerce ternama di Indonesia, ternyata mendapat sambutan hangat. Bahkan seperti kata Triana:
“Ketika para pemesan tahu kisah di balik produk SOLVE mereka ingin dicantumkan cerita di balik produk tersebut dalam souvenir mereka. Rupanya masyarakat memiliki kebanggaan pada produk yang dihasilkan oleh orang-orang yang selama ini tertutup oleh stigma buruk karena kurangnya informasi tentang masalah kejiwaan,” katanya.
Wah, sekali “sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui" ya? Produk dari kewirausahaan sosial terjual, stigma terhadap penderita masalah kejiwaan pun terhapus.
Souvenir yang lebih beragam seperti mug, bantal, keramik dan kayu kini tengah dikembangkan Triana, tentunya dengan bekerja sama penderita masalah kejiwaan yang menjadi mitra.
Hasilnya sungguh luar biasa, menurut Triana, dengan modal sekitar Rp 11 juta di awal produksi, SOLVE mampu memproduksi sekitar 400 – 1000 souvenir setiap bulan, dengan omset sekitar Rp 20 juta per bulan, serta berhasil mencapai pasar luar negeri. (sumber)
Satu kebaikan biasanya akan memunculkan kebaikan lainnya. Triana mungkin hanya mengupayakan pemenuhan kas Griya Schizofren dan sekadar uang jajan bagi para penderita masalah kejiwaan. Namun tak tertutup kemungkinan, ketika mereka sembuh, mereka bisa menjadi pelaku UMKM mandiri yang memproduksi souvenir pernikahan.
sumber: youngster.id |
Triana Rahmawati dan SATU Indonesia Awards
Indonesia dengan penduduk 283.487.931 jiwa, pastinya bertabur problem yang berhubungan dengan Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi. Problem yang menghalangi produktivitas penduduknya untuk menuju Indonesia yang berkelanjutan.
Memahami hal tersebut, melalui Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards, setiap tahun Astra memberikan apresiasi pada generasi muda (individu/kelompok) yang memiliki kepeloporan dan melakukan perubahan untuk Indonesia yang berkelanjutan.
Salah satunya adalah Triana Rahmawati yang memberikan contoh bahwa usia muda, nol pengalaman dan belum punya modal, bukanlah halangan dalam berkarya. Bahkan terus berkarya sesudah mendapat apresiasi SATU Indonesia Awards pada 2017.
Karena itu, yuk ikuti jejak Triana dengan berkarya di 5 bidang tersebut di atas, atau ikut berkolaborasi dengan program unggulan KBA (Kampung Berseri Astra) dan DSA (Desa Sejahtera Astra). Agar Indonesia yang berkelanjutan bukan sekadar angan, namun bisa terwujud berkat karya anak bangsa.
Baca juga:
Keberlanjutan, Kunci Sukses Berkebun Vania Febriyantie
Angkat jempol buat mbak Triana Rahmawati dengan Griya Schizofren-nya. Tidak mudah mencari rumah-rumah yang ramah bagi penderita masalah kejiwaan seperti itu. Kakak ipar adik saya yang kebetulan Schizofren, sekarang ini ada di Salatiga, karena panti yang menampung adanya di sana. Agak repot juga kalau ingin menengok. Semoga makin banyak karya generasi muda untuk Indonesia Berkelanjutan yah...
ReplyDeleteSatu lagi cerita tentang anak muda yang menginspirasi dan sudah menyentuh hati. Gak semua orang mau terlibat dan menangani ODGJ karena mungkin takut ataupun tidak telaten serta sabar. Tapi Triana dan teman-teman menghapus stigma itu. Apalagi kemudian melahirkan SOLVE sebagai wadah kreativitas dan dukungan agar semua kegiatan yang dilaksanakan GRIYA SCHIZOFREN bisa terus lestari dan bertumbuh dengan lebih baik. Dengan pencapaian yang sudah ada, Triana dkk. lebih dari pantas untuk mendapatkan SATU Indonesia Award.
ReplyDeletePernah dengar bahwa Schizofrenia salah satu gangguan jiwa yg sulit untuk disembuhkan. Namun bukan berarti mereka tak berhak memiliki penghidupan yg baik seperti orang normal lainnya. Apa yg dilakukan mba Triana ini bersama kawan2nya adalah sikap sosial yang begitu positif dan setelah berkolaborasi bersama Astra jadi semakin berpeluang kesempatan untuk terus melakukan kebaikan
ReplyDeleteTidak mudah lho menghadapi atau hanya sekedar berkomunikasi dengan mereka yang menyandang disabilitas terutama schizofren, selain sabar juga harus bisa memahami perasaan dan jalan pikiran mereka. Pengetahuan dan skill di bidang schizofrenia harus memadai. Salut banget buat Kak Triana Rahmawati dengan Griya Schizofren nya... Aku dukung Kak Triana Rahmawati untuk SATU Indonesia Award...
ReplyDeleteGriya Schizofren membuka semangat para penderita ODMK untuk bisa kembali dengan percaya diri ke masyarakat. Selama ini, psti berat sekali menghadapi ini sendirian. Karena keberanian kak Triana Rahmawati, maka kita bisa saling support untuk terus berkarya bersama.
ReplyDeleteKeren banget Triana usia muda, nol pengalaman dan belum punya modal, tapi gak takut buat berkarya dan berdampak bagi lingkungan dan sosial..
ReplyDeleteSaya ikut komunitas yang sebagian anggotanya punya schizofrenia dalam berbagai skala. Kadang ada teman lain yang sedang aktif lagi dan menggelandang di jalan. Ternyata bisa juga kalau ada komunitas begini. Bagus sekali jadinya, kan bisa saling support dengan lebih baik.
ReplyDelete