Belanja Pisang Kepok dan Kulineran di Pasar Gede Solo

   
nyiomas.my.id

Belanja Pisang Kepok dan Kulineran di Pasar Gede Solo

“Mamah tuh kalo belanja ke Pasar Gede harus nawar,” kata anak saya ketika kami sedang ngobrol tentang pengalaman belanja di Pasar Gede Solo.
Hehehe… anak lanang saya udah bisa nasehatin emaknya. Rasanya baru kemarin saya gendong-gendong dan nguyel-nguyel dia, sekarang sudah dewasa dan punya pengalaman berbelanjanya sendiri.

Akhir-akhir ini saya memang males nawar sewaktu belanja di pasar tradisional. Selain gak belanja banyak, khusus di Jawa Barat nampaknya penjual udah “janjian” dalam menetapkan harga.

Contohnya ketika saya belanja pisang tanduk di Pasar Tanjungsari, Sumedang Jawa Barat, ternyata perbandingan harga relative sama antara di pedagang pasar yang berlokasi bagian Selatan, maupun di pasar bagian barat, timur maupun utara. Ada selisih tipis, hanya sekitar  seribu rupiah. 

Lain ladang lain belalang. Di Pasar Gede Solo ternyata berbeda. ketika mencari pisang kapok dan merasa kemahalan di seorang pedagang yang mematok harga Rp 50.000/sisir. Eh gak berjarak jauh, pedagang pisang lainnya memberikan harga Rp 50.000/2 sisir pisang. Wow! Dua kali lipat ya?

Baca juga:
Resep Banana Muffin Luvita Ho, dan Beda Muffin dengan Cupcake

Endog Lewo Hingga Pisang Molen, Camilan Favorit untuk Ngonten

Daftar Isi:

  • Belanja Pisang Kepok di Pasar Gede Solo
  • Belanja Emping di Pasar Gede Solo
  • Kulineran di Pasar Gede Solo, dari Es Dawet sampai Janggelut

Walau demikian, harga ini tetap mahal sih. Mungkin karena Pasar Gede Solo terletak di pusat kota dan sering dikunjungi turis domestik. 

Sebagai perbandingan pasar tradisional Ngebuk Kemetiran, Yogyakarta yang hanya memenuhi kebutuhan penduduk setempat, harga pisang kepok jauh lebih murah.  Jika si pedagang mematok overpriced ya bakalan gak laku.


nyiomas.my.id
Pisang kepok di Solo (kanan), psang kepok di Jawa Barat (kanan), beda banget ya?

Sebentar, mungkin ada yang bertanya: “Ngapain jauh-jauh ke Solo/Yogya malah belanja pisang di Solo/Yogya?”

Dengan sedih harus saya kisahkan bahwa susah banget cari pisang kepok di Jawa Barat.  Jangankan di pasar Tanjungsari (tempat tinggal saya sekarang), di pasar Ciroyom (tujuan PKL membeli bahan baku) pun hampir gak ada.

Terkadang ada pedagang  di Jawa Barat yang menawarkan pisang kepok. Ternyata zonk! Bentuk luar mirip, namun sesudah dikukus, hasilnya jauh berbeda dengan pisang kepok. Teksturnya lembek dan berbiji, mirip pisang untuk pangan burung klangenan.

Sementara pisang kepok sangat khas. Daging pisang hasil kukusan bertekstur kenyal, nyakrek kalau kata urang Sunda, padanan dalam Bahasa Indonesia mungkin crunchy ya? Rasa pisang kepok manis legit dan tidak berbiji.

Selain dikukus, tekstur kenyal pisang kepok membuatnya bisa diproses menjadi pisang penyet nan lezat. Caranya dengan sautéing (pisang kepok di goreng dengan sedikit minyak/mentega).  Setelah matang, pisang dipenyet dan diberi topping sesuai selera (keju, muisjes, kacang tumbuk, dan lainnya).

nyiomas.my.id

Belanja Emping di Pasar Gede Solo

Selain pisang kepok, target belanja untuk oleh-oleh (tepatnya oleh-oleh buat saya sendiri 😀😀 ) adalah emping. Sebetulnya bisa sih belanja emping dari market place, namun kok gak setipis emping seperti yang saya beli di Solo/Yogya. Sehingga setiap ada kesempatan ke pasar tradisional, pasti saya bela-belain beli emping. 

Di Pasar Gede Solo, Lokasi penjual emping berbeda bangunan dengan penjual kepok yang termasuk buah-buahan. Kedua bangunan saling berseberangan.

Penjual emping bersatu dengan penjual sayuran, penjual sembako, masakan matang seperti ayam goreng, keripik-keripikan (kulit, usus, paru, belut dan lainnya), serta beragam jajanan seperti es dawet dan cakwe.

Seperti pisang kepok, penjual emping juga “sewenang-wenang” mematok harga :D Tak jauh dari penjual es dawet Mbok Dermi, pedagang memberi harga Rp 80.000/kg. Eh, hanya berjarak beberapa kios, pedagang menawarkan emping dengan harga Rp 100.000-120.000/kg.

Saya membeli emping, selain untuk camilan juga sebagai kondimen bubur ayam. Makan bubur ayam tanpa emping seperti makan nasi lalap tanpa sambal. Duh.😊😊

Ada resep almarhum ibunda sebelum menggoreng emping, yaitu membumbui dulu dengan bawang putih (bisa diparut/diulek) dan garam, kemudian menjemurnya. Hasilnya, emping goreng lebih gurih dan harum. 

 

nyiomas.my.id


Kulineran di Pasar Gede Solo, dari Es Dawet sampai Janggelut

Es Dawet Telasih Bu Dermi

Saya mengenal Es Dawet Telasih Bu Dermi sejak puluhan tahun silam. Waktu itu anak-anak masih kecil dan setiap menjelang Lebaran, keluarga pasti mudik ke Solo.

Beruntung rumah keluarga tidak jauh dari Pasar Gede Solo. Sehingga saya bisa “jalan” sendirian ke Pasar Gede Solo di pagi hari ketika anak-anak masih tidur.

Nah tujuan ke Pasar Gede Solo selain belanja banyak keripik (usus, ceker, paru dan lainnya), saya pasti beli es dawet yang berseberangan dengan penjual keripik.

Dulu sih penjualnya bertubuh gemuk (mungkin dialah yang bernama Mbok Dermi) dibantu 2 perempuan muda. Sekarang penjualnya bertubuh langsing dan sendirian.

Sang penjual bilang bahwa pedagang bertubuh subur telah meninggal. Dia dan saudara-saudaranya meneruskan usaha es dawet yang selalu dipenuhi pembeli (dari dalam dan luar kota) ini.

Ketika saya bertanya: “Kok sendirian?” Maka muncullah curhat beruntun tentang saudara-saudaranya yang baru datang membantu kala siang menjelang. Itu pun malah mainan hape katanya.😊😊

Es dawet Mbok Dermi terdiri atas cendol, biji selasih, tape ketan hitam, jenang (bubur) sumsum, gula cair, santan dan es batu. Harganya Rp 13.000/mangkok.

Menurut saya, rasa Es Dawet Telasih Bu Dermi sudah berubah, tidak selegit dan senagih dulu. Saya mencoba menebak-nebak penyebabnya. Mungkin “beda tangan beda rasa” berlaku di sini.

 

nyiomas.my.id

Cakwe Hoo

Paska jajan es dawet sebetulnya perut sudah terasa penuh. Tapi gak afdol pulang dari Pasar Gede Solo tanpa membawa camilan yang banyak bertebaran di dalam dan luar bangunan pasar.

Awalnya sih pingin beli aneka camilan di Dimsum Story yang penampakannya wara-wiri di Instagram. Sayang terpaksa urung ngelihat antrian yang lumayan panjang. Rasanya malesin banget ngantri di panas terik Kota Solo.

Karena itu saya pindah target ke camilan di sebelah Dimsum Story, yaitu cakwe atau janggelut dalam Bahasa Jawa.

Cakwe di Cakwe Hoo ini mirip dengan Cakwe Lie Tjay Tat di GOR Pajajaran Bandung, bentuknya panjang, gemuk, montok, empuk dan gurih, dan gak alot. 

Bertambah penasaran setelah melihat harganya yang hanya Rp 3.000/buah, bandingkan dengan Cakwe Lie Tjay Tat yang mematok harga Rp 9.000/buah.

nyiomas.my.id

Selain cakwe, Cakwe Hoo juga menyediakan bolang baling dan gembukan. 

Perbedaan ketiga camilan ini, menurut pendapat saya sih seperti ini, CMIIW ya  …. Baik cakwe (di Jawa Tengah, tepatnya di Solo dinamai janggelut), maupun bolang-baling dan gembukan dibuat dari bahan baku yang sama yaitu tepung terigu dengan baking powder sebagai bahan pengembangnya.

Khusus untuk cakwe/janggelut, agar rasanya gurih, adonan diberi bumbu penyedap. Resep aslinya sih (konon usianya sudah 800 tahun) mengandalkan telur dan mentega untuk memperoleh rasa gurih.

nyiomas.my.id

 

Sedangkan bolang-baling dan gembukan dibuat untuk penyuka manis, karena itu diberi gula. Perbedaan bolang-baling dan gembukan terletak pada bentuk dan teksturnya.
Bolang-baling  berbentuk seperti bantal segi panjang, dengan tekstur empuk luar dalam.

Sedangkan gembukan berbentuk segi empat dengan taburan gula dan wijen putih. Teksturnya garing/crunchy di luar, empuk di dalam.

Gembukan/odading ini pernah viral di media sosial, gara-gara seseorang bernama Ade Londok dari Bandung menyanyikannya dengan gaya lucu dan nyleneh.

Ivan Lanin, pakar Bahasa Indonesia ternyata menemukan makanan serupa odading/gembukan di berbagai negara dengan nama berikut:

  • Oliebollen (Belanda)
  • Roten (Tegal)
  • Montor (Blitar)
  • Mandel (Gresik)
  • Bakhomri (Arab)
  • Beignet (Prancis)
  • Brot goreng (Manado)
  • Godho roti (Sidoarjo)

Masuk akal sih ya? Tepung gandum kan digunakan sebagai bahan pangan di seantero bumi. Selain dibuat roti (dipanggang/dikukus) pasti ada yang berinisiatif menggorengnya, sehingga di setiap daerah muncul camilan yang serupa tapi berbeda nama, tergantung penduduk di kawasan tersebut.

Seperti odading yang konon berasal dari Bahasa Belanda yang terdengar seperti o dat ding yang berarti "O, benda itu?". 

Ceritanya ada anak Belanda yang merengek minta jajan pada ibunya. Ketika melihat camilan yang dijajakan penjaja yang merupakan urang Sunda, sang ibu pun bilang: “O dat ding.”

Paling tidak begitulah sejarah odading yang dikisahkan sejarawan kuliner dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Fadly Rahman.

Jujurly saya lebih suka cakwe/janggelut (saya penasaran, apa sih arti janggelut?) yang rasanya manis, dibanding bolang baling dan gembukan. Soal selera ini mah ya?

Dan cakwe buatan Cakwe Hoo cukup memuaskan: Teksturnya empuk, ukurannya besar  dan rasanya gurih. Andai disediakan saus asam manis (dengan potongan nanas) seperti Cakwe Lie Tjay Tat, pastinya akan lebih perfecto. 

Hehehe cakwe Rp 3.000 aja kok minta macem-macem.😀😀

Baca juga:
Resep Bolu Kukus Tape Singkong dan Beda Baking Soda serta Baking Powder

Roti Gambang, Kudapan Jadul yang Enaknya Kebangetan!

14 comments

  1. Hai Ambu Nyi Omas!

    Baca artikel ini bikin nostalgia banget, deh. Pisang kepok dan emping, apalagi dinikmati di suasana Pasar Gede Solo, pasti rasanya lebih nikmat. Tradisional tapi nggak pernah ketinggalan zaman! Jadi pengen mampir lagi ke Solo buat kulineran sambil menikmati kehangatan pasar tradisional.

    Makasih udah berbagi cerita dan inspirasinya, Ambu! 🌸

    ReplyDelete
  2. Pisang kepok memang sesuatu dah buat dijadikan aneka olahan makanan Di Jakarta juga banyak Ambu pisang kepok. Cuma kalau hitung jarak mungkin lebih deket ke Solo ya Ambu?

    ReplyDelete
  3. Hihi aku baru tau kalau odading artinya itu. Hebat urang Sunda deh kalau kadoh nama makanan

    ReplyDelete
  4. Ternyata Odading Mang Oleh banyak panggilannya di daerah lain ya...
    Kaya banget emang Nusantara ini.
    Kalau soal kuliner selalu saja ada yg bikin kita penasaran dan pengen mencicipi yaa...

    ReplyDelete
  5. Mungkin pasar gede memang sebagiannya untuk wisatawan sehingga butuh nawar afgan. Saya kalau ke pasar serame itu juga nawarnya 1/2 dulu. Beda kalau di pasar di kota sendiri yang ga pakai nawar. Intinya sih karena sudah tahu harganya berapa.
    Btw, kalau lihat bentuk pisangnya,, itu memang bukan pisang kepok, mbak. Di sini juga ada 2 jenis pisang yang mirip sehingga harus jeli. Tapi biasanya pedagang akan bilang kok, itu kepok atau kembaran beda nasib.

    ReplyDelete
  6. saya kaget pisang kepok sesisir 50 ribu, Mbak. Itu dulu di Gombong Kebumen sudah satu tandan hehehe. Di Depok saja, paling mahal 30 ribu, itu juga yang ukuran besar dan posisi paling atas di tandan. Kalau standar rata-rata 20 ribu.
    Ada memang pedangang yang begitu. Kalau dilihat orang baru, atau dialeknya beda, maka dimahalin hehehe. Tapi memang seru ke pasar, bisa sekalian beli jajanan pasar juga.

    ReplyDelete
  7. Aku baru ngeh ternyata Pisang Kepok semahal itu. Aku termasuk sering anterin ibu ke pasar saat ada pesanan katering, termasuk beli buah. Tapi pisang yang biasa dipake biasanya pisang mas atau pisang putri. Pisang Kepok emang enak banget kalau digoreng, tapi aku kaget kalau ternyata mahal dan jadi penasaran dengan harga di sini biar ada perbandingan.

    Yang aku sesalkan ketika ke Pasar Gede 2017 lalu adalah gak cobain jajanan yang dijual di sana. Jadinya cuma lihat-lihat dan foto, padahal katanya di sana ada jajanan yang disukai Pak Jokowi zaman masih jadi walikota.

    Jadi emang harus tahu medan sih ya haha, kalau ke pasar yang jadi objek wisata emang kudu tahu pasaran harga dan kudu nawar. Sama kayak belanja di Palembang, kalau nawar pake Bahasa Indonesia ya pasti gak banyak diskonnya. Beda kalau sejak awal udah ngajak ngomong pake Bahasa Palembang, penjual gak berani kasih harga kelewat tinggi :)

    ReplyDelete
  8. hehe... kita samaan ambu, aku pun kalo lagi pulang ke tempat mbah putri selalu mampir pasar solo buat beli emping melinjo.. ada satu emping khas sana yang dilipat-lipat tapi gak keras dan asli melinjo makanya aku suka..
    ngomongin soal pisan direbus jadi kasuat-suat hiks.. soalnya itu makanan kesukaan almarhum papa yang aku paling ga bisa makan huhu..

    ReplyDelete
  9. Itu penerus Es Dawet Bu Dermi kok ada yang maunya enaknya saja, sudah datang siang, main HP saja kerjanya, huhuhu kasihan yang datang dari pagi. Memang seringnya kalau sudah diteruskan anak/saudara, beda rasa ya, karena beda tangan itu mungkin. Membaca dan melihat penampakan kuliner Pasar Gede Solo bikin ngiler saya...Adik suami saya nikah dengan orang Solo, rumahnya dekat Pasar Gede ini. Dulu saya pernah nginep di rumahnya, pagi-pagi blusukan ke pasar. Ya ampun enak-enak dan segar memang jualannya. Adik ipar saya nawar di setiap pedagang, alasannya sama kayak Ambu..biar enggak tertipu hihihi.
    Kini kalau ke Solo saya cuma singgah 2-3 jam, belum pernah nginep lagi, jadi kangen blusukan ke Pasar Gede lagi

    ReplyDelete
  10. Ini semua kegemaran suami saya Mbak. Dia tuh doyan banget menyusur pasar tradisional dan membeli aneka jajanan. Sudah terlatih juga menawar. Saya tahunya cuma ngeliat dan memperhatikan. Seru juga kalau suami dah terlibat dengan kegiatan bertransaksi dan memilih sayur, lauk, dan buah di pasar tradisional. Bisa betah gak pulang-pulang.

    ReplyDelete
  11. Macam-macam ya jajanan yang ditawarkan, cuma baca sebentar aja langsung ngiler hehe. Cakwe-nya juga menggoda, terus habis itu minum es dawet, yummy!

    ReplyDelete
  12. Kayak Ibuku kalo ke Solo, mesttii ga pernah absen buat jalan-jalan ke Pasar Gede Solo.
    Dan aku dapet bonus dari bawain belanjaan Ibuk dengan jajanan pasaaarrr..
    Seneng banget dibayar ama jajanan pasar, apalagi yang memang jarang ada di Surabaya.

    ReplyDelete
  13. wah resep goreng empingnya boleh juga nih dicobain, kalo aku resepnya cuma pake mentega.. biasanya sy selalu goreng emping kalo lebaran. btw ternyata hunting pisang kepok susah juga ya mba..

    ReplyDelete
  14. Lah, baru aja akhir Oktober yang lalu, kami ke Solo dalam rangka penelitian. Ke Pasar Gede juga, mencicipi dawet tlasih dan es gempol pleret juga. Jajanan di Solo engga pernah gagal sih. Kami borong keripik di Pasar Gede, soalnya suka banget camilan. Hehe...

    ReplyDelete