Ngobrolin Tutupnya Waroeng Baso Cepot yang Punya Slogan “Hebringna Baso Urat”
Lokasi…lokasi…lokasi, demikian kata pedagang etnis Tionghoa tentang kesuksesan mereka. Karena itu, saya bingung sewaktu melihat banner berjejer akan dibukanya Waroeng Baso Cepot di Jalan Raya Jatinangor, tepatnya di ruas jalan dari Jatinangor menuju kawasan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang.
Dan benar aja, Waroeng Baso Cepot ini hanya bertahan setahun. Gak lama kemudian tutup dengan tulisan “Sedang Tutup”, dan malah sekarang plank nama Waroeng Baso Cepot ditutup kain hitam.
Untuk teman-teman yang belum familier dengan Jatinangor, kawasan ini tempat berdirinya perluasan kampus Intitut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Pajajaran (Unpad), dari Kota Bandung ke Kabupaten Sumedang.
Sebelumnya telah ada sekolah tinggi lainnya seperti Ikopin dan IPDN. Jadi semacam kawasan mahasiswa/i yang harus ngekost karena jauh dari Kota Bandung.
Gak heran destinasi kulineran bermunculan, di sepanjang jalan Cileunyi (dari Bandung-Jatinangor) dan Jalan Jatinangor (dari Jatinangor-Tanjungsari). Hal yang mungkin jadi pertimbangan berdirinya Waroeng Baso Cepot (WBC)
Baca juga:
Ke Waduk Cengklik, Menikmati Indahnya Sunset Sambil Menyantap Soto Seger
Belanja Pisang Kepok dan Kulineran di Pasar Gede Solo
Daftar Isi:
- Lokasi Waroeng Baso Cepot (WBC) di Jatinangor
- Sekilas Tentang WBC
- Pengalaman Mencicipi Lezatnya Bakso di WBC
Sayangnya letak WBC ini nanggung. Alih-alih mendekat ke kawasan pusat Jatinangor, tempat mahasiswa kerap nongkrong, WBC terletak sekitar 3 km dari kawasan pusat Jatinangor. Itu pun jalannya curam (maklum pegunungan) penuh belokan tajam. Pengendara sepeda motor kerap harus berbagi jalan dengan kendaraan berat seperti truk tronton.
Tempat makan di kawasan ini umumnya menyasar wisatawan antar kota, contohnya rumah makan “Saung Nini” yang tidak hanya menyajikan menu masakan yang sangat khas seperti nasi liwet dan nasi oncom, juga “saung”/gazebo dengan suasana alam khas Pasundan.
Agar nyaman, Saung Nini memberi fasilitas lahan parkir luas, sehingga bus wisata leluasa parkir di sini.
Tidak demikian halnya dengan WBC. Lahan parkirnya hanya mampu menampung sekitar 4 kendaraan roda empat tipe SUV. Bisa lebih apabila yang parkir city car dan kendaraan roda dua.
Atau dengan kata lain, target pengunjung WBC gak jelas. Mahasiswa jelas ogah ke sini karena membutuhkan effort berlebih, sementara rombongan wisatawan dalam bus pariwisata bakal kesulitan untuk parkir.
Selain itu menu bakso yang disajikan WBC terlalu segmented. Karena tidak menyajikan menu lain, maka hanya penyuka bakso yang akan berkunjung ke sini.
Ketika penyuka bakso ini dibedah, akan ditemukan beberapa kategori. Ada kalangan bawah yang biasa membeli bakso dibawah harga Rp 10.000, kalangan menengah serta kalangan atas yang mementingkan rasa dibanding harga.
Walau terletak di jalan nasional, kawasan WBC umumnya kalangan masyarakat bawah. Mereka biasa jajan bakso dengan range harga Rp 4.000-Rp 10.000. Mereka tak mempedulikan apakah bakso yang disantap terdiri dari full daging sapi, atau didominasi campuran tepung tapioka.
Mungkin mereka akan datang ke WBC untuk menyicip rasanya. Kebetulan WBC juga menyediakan beberapa mesin permainan untuk anak balita. Kemudian mundur dan berpikir ulang.
Tentunya ini hasil riset ala kadarnya. Hasil obrolan penyuka mie bakso setelah sekitar 2-3 tahun tinggal di kawasan ini. Dibanding “ngebakso” di WBC, mereka memilih area komersil Tanjungsari (pertokoan dan pasar) yang hanya berjarak 1 km, tempat beberapa penjual mie bakso favorit telah lebih dulu berjualan.
Sekilas Tentang WBC
Seperti telah ditulis di atas, WBC merupakan singkatan dari Waroeng Baso Cepot yang terkenal di kota asalnya, Tasikmalaya. Mengambil nama Cepot, tokoh wayang golek, mungkin perintis WBC berharap bisnisnya akan sukses dan terkenal seperti Cepot, punakawan yang kondang karena kelucuannya.
Dari beberapa laman, didapat keterangan bahwa WBC popular sejak tahun 1970-an. Baksonya terkenal lezat, kenyal dan gurih, sehingga banyak pengunjung yang ketagihan.
Memiliki menu andalan bakso urat dan bakso halus, WBC menetapkan “Hebringna Baso Urat” sebagai slogan. Unggulan lainnya adalah kuah kaldu lezat, yang terbuat dari rebusan tulang sapi yang menghasilkan rasa umami yang medok (kaya rasa) dan segar.
Pengamat kuliner mengelompokkan panganan bakso yang beredar di tanah Parahyangan aka Jabar menjadi 3, yaitu Chinese meatballs (umumnya penjualnya etnis China), bakso Solo (bakso yang khas dengan campuran sayuran sawi dan taoge), serta bakso Bandung yang lebih dikenal sebagai bakso cuanki.
Jenis bakso di kawasan lain mungkin berbeda, seperti Kuliner Surabaya yang punya jajanan mirip “cuanki”, yaitu “bakwan” atau Bakso Malang. Jajanan ini terdiri dari berbagai macam bakso dan aneka varian bakso goreng dengan kuah kaldu sapi bening yang sangat gurih.
Aneka kuliner Surabaya lainnya ditulis lengkap oleh sahabat saya, Blogger Surabaya, diantaranya tentang aneka nasi kuning, yang saya baru tahu, ternyata ada nasi kuning Ambon, nasi kuning Gorontalo, dan masih banyak lagi.
Mungkin karena bagaimana pun kita satu rumpun, ya? Tinggal di kawasan dengan rempah yang sama. Jadi ya berkelindan di situ-situ aja. 😊😊
Pengalaman Mencicipi Lezatnya Bakso di WBC
Sebagai penggemar bakso, banner kehadiran Waroeng Baso Cepot di jalan yang saya lalui setiap ke/pulang dari Bandung, tentu saja mengundang penasaran.
Dan rasa penasaran tertuntaskan ketika saya menyengaja datang. Beberapa mesin permainan anak menyapa sewaktu saya memasuki bangunan WBC. Di bagian kanan terletak kasir dan deretan bakso serta minuman yang bisa dipilih, sementara tempat duduk dan kursinya berada di sebelah kiri.
Dinding WBC, mulai dari tempat parkir hingga ruangan dalam, dipenuhi gambar para punakawan yang lagi asyik ngobrol, diantaranya:
“Euleuh euleuh hebring pisan euy.”
“Hayu atuh buru, dewek geus hayang baso heu heu.”
“Jadi loba atuh sateuh ..heu heu.”
Untuk memesan makanan, konsumen dipersilakan memilih pelengkap bakso seperti bihun, mie, sayuran (sawi, taoge), irisan daun bawang dan pastinya aneka bakso yang didisplay dalam panci besar bersekat. Mirip penyajian Bakso Djando Guntursari, Bakso Soeltan, serta bakso kekinian lainnya.
Cara ini tentu saja memudahkan konsumen, tidak saja bisa memilih bakso yang disukai juga bisa mengkalkulasi sendiri harga setiap porsi bakso.
Bakso termurah, bakso kecil dibandrol dengan harga Rp 2.000/buah, kemudian ada bakso telur puyuh (Rp 4.000), bakso aci (Rp 6.000), serta beberapa macam bakso dengan harga Rp 10.000, yaitu bakso Dawala, bakso urat Cepot, bakso pedas, bakso telur ayam, dan bakso keju.
Dari penamaan bakso Dawala, nama lain dari Petruk di daerah Pasundan (Jawa Barat), bisa dilihat bahwa pemilik WBC mengambil tokoh pewayangan sebagai produknya. Termasuk bakso Bima, bakso termahal yaitu Rp 45.000, sesuai ukurannya yang besar seperti tokoh Bima.
Selain bakso, WBC menyediakan aneka pelengkap seperti jando, tahu goreng, tahu kering, pangsit basah, pangsit kering, kikil, cincang ayam, babat yang dibandrol rata Rp 5.000, kecuali ceker (Rp 3.000).
Untuk penggemar daging iga, tersedia iga WBC dan tulang iga, masing-masing seharga Rp 10.000.
Bikin kalap ya lihat banyaknya varian bakso? Tampak menul-menul menggoda diantara asap kuah kaldu yang menguarkan aroma wangi kaldu sapi yang khas.
Tapi saya harus tahu diri, beberapa kali “lapar mata” dan akhirnya gak habis, saya memilih bakso dan kondimen yang disukai saja. Toh kalau pingin lagi bisa nambah.
Jadilah saya memesan bihun, taoge sayur kemudian bakso kecil (yang ternyata lumayan besar), bakso pedas serta tahu goreng.
Bagaimana rasanya?
Kurang asin! Tolah toleh mencari kecap asin atau garam tidak terlihat. Hanya ada saus tomat, saus sambal, sambal olahan WBC, cuka dan kecap manis. Mungkin WBC beranggapan bahwa kecap manis bisa digunakan untuk mereka yang butuh garam.
Sayangnya saya termasuk kelompok yang menabukan pemakaian kecap manis untuk soto, mie bakso dan masakan berkuah semacam ini. Karena kecap manis akan “membunuh” rasa asli masakan tersebut.
Secara keseluruhan rasanya memang lezat, baik kuahnya yang nendang maupun bakso yang kenyal, gurih dan bikin (ketika membuat tulisan ini) pingin ke sana lagi untuk menikmati rasa baksonya yang nagih.
Malangnya WBC terdekat sudah tutup. Andaikan, ya andaikan mereka membuka WBC di pusat keramaian Jatinangor, pastinya saya masih bisa mencicipi kelezatan bakso WBC yang belum sempat saya eksplor habis.
Oiya, mungkin teman-teman mengira saya typho ketika menulis “bakso” dan “baso”. Setelah saya cek Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penulisan yang baku adalah “bakso”, sedangkan “baso” merupakan ejaan yang tidak baku.
Saya menggunakan keduanya, baik “baso” untuk penamaan produk sesuai WBC, serta “bakso” sebagai narasinya.
Baca juga:
Asyiknya Ngabakso di Bakso Djando Guntursari Bandung
Kalau menurutku ya, buka bakso tuh ya harusnya di pusat kota. Karena pecinta bakso biasanya mainnya ya ke pusat kota. Waroeng Baso Cepot, namanya sudah keren sih. Menunya juga menggiurkan lho.
ReplyDeleteMemang salah satu faktor yang harus diperhatikan saat akan membuka usaha. termasuk warung makanan adalah lokasi ya, Mbak. Lokasi strategis, pastinya akan berdampak besar bagi penjualan. Namun terkadang juga, walau letaknya nyempil tapi karena makanannya enak dan mudah dijangkau tempatnya, maka akan tetap banyak pelanggan.
ReplyDeletenah, kalau Warung Baso Cepot ini kendalanya jauh dari pusat kota. Terus, daya beli masyarkat belum sesuai. Terus dari pengalaman Mbak yang kurang asin dan tidak tersedianya garam. Padahal garam harus ada di meja untuk mengoreksi rasa sesuai selera.
Baso cepot emang bikin penasaran karena ikon cepot yang ngejeblag segede gaban tiap pulang dari Ciamis menuju bandung...
ReplyDeleteBelum kesampean tapi baca ulasan ambu kayanya emang citarasa baso nyundanya kental banget ahhaha..
Aku juga pernah tinggal di surabaya dan menurutku baso atau bakwan atau pentol sebutan mereka, rasanya ga senampol ngebaso di bandung terlebih rasanya jadi agak aneh karena pake daun jeruk huhu
Saya baru tahu bakso Cepot ini Bu, yang saya tahu dan terkenal dari Tasikmalaya itu Bakso Sampurna. Padahal sama² dari Tasikmalaya nih kami...
ReplyDeleteSemoga kesampaian saya juga cicip Bakso Cepot. Dimana ya yang masih buka WBC terdekat dari Cianjur?
Di tempat saya juga banyak warung yang pernah berjaya kini tutup. Saya rasa memang daya beli masyarakat yang sedang menurun yang bisa jadi faktor utamanya.
ReplyDeleteEh ada bakso telur puyuh ya? Di tempat daku belum jumpa yang seperti itu. Kalau pun ada bakso telur biasa aja. Penasaran jadinya dengan WBC ini
ReplyDeleteSemoga buka kembali ya kak, apalagi ini WBC termasuk harganya yng murah banget di Jakarta aja udah 25rb, kalau aku tim pakai sambel n cuka dan sedikit kecap kalau makan bakso
ReplyDeleteNgobrolin bakso ini, aku kurang paham. Taunya makan ajaa..
ReplyDeletehahaha.. Soalnya pakem bakso di lidah akutu bakso Surabaya yang ((bisa dibilang)) kuat di kuahnya yang bergajih-gajiih ituu, Ambuu..
Jadi, bakso Sunda itu menurutku sangat bersih dan sehat.
Hehehe..
Pingin cobain Waroeng Baso Cepot.
Tapi daerah jajahanku ga sampai Jatinangor.
Eh, belum apa-apa, uda tutup duluan.
Semoga Waroeng Baso Cepot bisa buka di tempat yang lebih strategis yaa..
Saya juga pecinta baso nih. Nikmat banget, apalagi dimakan rame-rame. Biasanya kalau dibawa pulang. Sebungkus aja udah diserbu sama keluarga. Apalagi pasal kuahnya, kalau saya sih selalu tandas tinggal mangkuknya doang.
ReplyDeleteKalau udah tutup begini pasti pada rindu dah sama basonya.