Songgo Buwono, Cemilan Akulturasi dari Keraton Yogyakarta

   
nyiomas.my.id

Songgo Buwono, Cemilan Akulturasi dari Keraton Yogyakarta

 “Songgo Buwono,” jawab Mbak Rahmi, “mbok tenong” dari Toko Trubus Yogyakarta, ketika saya bertanya tentang cemilan berbentuk unik yang mengingatkan saya pada macaroni schotel. 

Perkenalan saya dengan songgo buwono bermula ketika sedang hunting lumpia, dan diberitahu bahwa setiap hari ada mbok tenong yang berkeliling sampai di sekitar rumah kami di Kemetiran, Kota Yogyakarta.

Mbok Tenong adalah sebutan untuk wanita paruh baya penjual makanan tradisional yang menggunakan wadah tradisional bernama tenong untuk menjajakan makanan di seputar kota. Mbok Tenong merupakan salah satu ciri khas kuliner dan pelestari makanan tradisional di Yogyakarta.

Nah sewaktu Mbak Rahmi membuka tenongnya, nampaklah panganan yang memikat, yang menurutnya bernama “songgo buwono”. Penasaran dong dengan rasanya, sekaligus alasan makanan “cantik” ini bernama “songgo buwono”.

Baca juga:
Resep Tahu Sumedang Isi Sayuran dan Sejarah Tahu Sumedang

Menyicip Kelezatan Fusion Food di Teuan Restaurant Lembang

Daftar Isi:

  • Pertama Kali Berkenalan dengan “Songgo Buwono”
  • Filosofi Panganan Bernama “Songgo Buwono”
  • “Songgo Buwono” Merupakan Hasil Akulturasi 
  • Kelezatan “Songgo Buwono” Cemilan dari Toko Roti Trubus

Setelah searching, saya baru tahu bahwa “songgo buwono” merupakan makanan priyayi aka bangsawan yang lahir di Keraton Yogyakarta.

Penginspirasinya adalah  Sultan Hamengkubuwono VIII sehingga sajian ini hanya muncul pada helatan tertentu, seperti perayaan pernikahan keraton.

Hasil searching juga menyebutkan bahwa “songgo buwono” terbuat dari kue soes, daun selada, telur, ragut dan acar. Jadi berbeda dengan  panganan songgo buwono yang dibawa Mbak Rahmi, yang sebelumnya saya mengira sebagai macaroni schotel, namun setelah mengamati lebih dekat, saya menebaknya sebagai pastel tutup (olahan kentang).

Pembuat panganan “songgo buwono” ala Toko Roti Trubus rupanya kesulitan mengemas kue soes yang cenderung rapuh. Selain itu, apabila dijajakan berkeliling oleh Mbok Tenong bentuknya bisa berantakan, maka dia memodifikasi dan mengganti dengan kentang.

Tapi, apakah hasil modifikasinya masih melambangkan filosofi “songgo buwono” yang berarti “penyangga buwana”? 

Yuk kita kupas:

nyiomas.my.id
Songgo Buwono dari kulit soes (instagram.com/kebudayaanjogjakarta.go.id)

Filosofi Panganan Bernama “Songgo Buwono”

Hampir setiap panganan yang biasa kita santap, punya filosofi. Seperti “nastar” yang konon berasal dari bahasa Belanda "ananas taart" yang berarti pai nanas.

Etnis Tionghoa selalu menyajikan “nastar” di setiap Imlek adalah Tahun Baru China, karena nastar mengandung filosofi: kemakmuran, keberuntungan, dan keberlimpahan rezeki. 

Demikian pula “wajik ketan”, kue tradisional yang telah ada sejak zaman Majapahit dan selalu disajikan pada pesta pernikahan karena mengandung filosofi yang amat dalam.

Dalam konteks pernikahan, wajik ketan melambangkan  kelanggengan, kebersamaan, dan persatuan yang mendalam, terutama dalam konteks pernikahan dan acara adat. 

Tekstur beras ketan yang lengket melambangkan harapan agar hubungan (pernikahan atau antarwarga) menjadi erat dan tidak mudah terpisah. Selain itu, proses pembuatan wajik yang sering dilakukan secara gotong royong juga mencerminkan pentingnya kerja sama dan keharmonisan dalam mencapai tujuan.

Sedangkan panganan “Songgo Buwono”, dilihat dari arti kata: Songgo artinya “menyangga”, Buwono berarti “langit atau kehidupan”. Jadi, Songgo Buwono memiliki makna penyangga kehidupan.

Di era Kesultanan Yogyakarta, panganan songgo buwono hanya disajikan pada acara tertentu seperti perayaan pernikahan keraton, karena memiliki  filosofi yang menggambarkan kehidupan manusia. Disajikannya songgo buwono dalam pesta pernikahan melambangkan kedua mempelai siap untuk mengarungi kehidupan secara mandiri.

Sedangkan filosofi songgo buwono dalam kehidupan sehari-hari mencerminkan pandangan kosmis tentang bumi dan langit, serta keselarasan manusia di dalamnya, dengan setiap komponennya memiliki makna simbolis, yaitu:

Kue soes (diganti olahan kentang)

Melambangkan bumi tempat semua makhluk hidup lahir dan mati.

Ragut

Ragut merupakan campuran dari daging, wortel, bawang bombay, dan bumbu-bumbu penyedap, menggambarkan keberagaman masyarakat di dunia yang mampu berpadu dalam sebuah keselarasan.

Selada

Daun selada menggambarkan hamparan pepohonan dan tumbuhan hijau yang asri dan lestari

Telur rebus

Melambangkan gunung yang menjaga ekosistem bumi. 

Saus mustard Jawa:

Diibaratkan sebagai langit yang menyelimuti bumi. 

Acar:

Simbol bintang-bintang yang tersebar di langit.

nyiomas.my.id

“Songgo Buwono” Merupakan Hasil Akulturasi

Songgo Buwono, baik yang terbuat dari kue soes maupun pastel tutup, merupakan hasil akulturasi budaya Eropa, Tiongkok dan Indonesia tepatnya Jawa Tengah. 

Akulturasi makanan terjadi ketika ada pertemuan budaya, di mana makanan atau praktik kuliner dari satu budaya masuk dan kemudian disesuaikan dengan budaya lain, sehingga menciptakan sesuatu yang baru. Indonesia adalah negara yang kaya akan akulturasi makanan karena sejarahnya yang banyak dipengaruhi oleh berbagai budaya asing, seperti Tiongkok, India, Belanda, Portugal, dan Arab.

Kue soes maupun pastel tutup dan sausnya berasal dari Eropa, acar dari Tiongkok, serta rasa manis menjadi khas kuliner Jawa Tengah.

Khusus kue soes yang diganti pastel tutup, begini penjelasannya:

Kulit soes (atau choux pastry dalam bahasa Prancis)

Terbuat dari adonan mentega, air, tepung terigu, dan telur, lalu dipanggang. Hasilnya kulit soes berongga dan renyah di luar. 

Kulit soes mengembang disebabkan hasil proses uap air dan panas oven tinggi yang menjebak uap di dalam adonan sehingga membentuk rongga kosong di dalamnya

Pastel tutup 

Merupakan nama lokal dari Shepherd's Pie. Hasil akulturasi antara budaya kuliner Belanda dan Indonesia ini dibuat dari kentang tumbuk (puree) dan isian ragout (hasil olahan daging, sayuran dan susu), kemudian dipanggang sampai berwarna keemasan.

Sebetulnya banyak sekali panganan hasil akulturasi yang kita konsumsi, yuk tebak apa saja?

Bakwan

Yes, bakwan merupakan akulturasi budaya dari Tiongkok. Kata "bakwan" berasal dari bahasa Tionghoa (Hokkien) yang berarti "bola daging" (bak = daging, wan = bola). Karena harga daging relatif mahal, masyarakat Indonesia menyesuaikan bahan bakwan dengan menggunakan sayuran seperti kol, wortel, dan tauge, sehingga menjadi salah satu gorengan favorit sejuta umat.

Tahu

Salah satunya tahu Sumedang, panganan ini adalah hasil akulturasi budaya Tiongkok dan budaya lokal Indonesia. Pertama kali dibawa oleh imigran Tiongkok, tahu mengalami penyesuaian serta perkembangan di Indonesia, sehingga menjadi kuliner khas dengan berbagai variasi rasa dan bentuk, seperti wedang tahu, kembang tahu, atau bubur tahu.

Jenang

Dalam berbagai bentuk, baik bubur maupun dodol/wajik merupakan hasil akulturasi budaya merujuk pada berbagai jenis jenang (bubur tradisional) yang mengandung nilai-nilai spiritual dan simbolisme dari perpaduan budaya, seperti akulturasi Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia. 

Selain contoh di atas, bisa kita tambahkan bakso, kecap, nasi goreng, semur, bakpia, rendang dan masih banyak lagi.

 


Kelezatan  “Songgo Buwono” , Cemilan dari Toko Roti Trubus

Searching tentang Songgo Buwono membuat saya tercerahkan. Selama ini saya hanya melihat makanan sebagai sesuatu yang enak untuk disantap, yang berasal dari bahan baku tertentu, yang diolah dengan bumbu, dan menggunakan berbagai macam cara, seperti digoreng, dipanggang, dikukus dan seterusnya.

Ternyata gak sesederhana itu. Setiap makanan diolah setelah melalui proses kebudayaan, kesenian, pengetahuan, dan lainnya hingga nilainya bertambah.

nyiomas.my.id

 

Termasuk panganan Songgo Buwono yang nampaknya bukan produk asli Toko Roti Trubus, melainkan produk titipan UMKM. Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya brand “Trubus” pada plastik pembungkus Songgo Buwono.

Harus diakui, sang pemilik UMKM ini sangat cerdik. Paham bahwa Songgo Buwono dengan kulit soes yang berbentuk rongga tipis akan menyulitkan pengemasan, dia menggantinya dengan kentang tumbuk dari panganan pastel tutup.

Apakah boleh? Wah gak tahu ya, Songgo Buwono ini termasuk Warisan tak Benda yang telah ditetapkan pada Perayaan Warisan Budaya Tak Benda Tahun 2023 bersama 4 makanan lainnya, yaitu Jadah Manten, Legomoro, Kembang Waru dan Yangko Yogyakarta.

Gimana rasanya?

Sangat lezat, khususnya untuk lidah lokal. Pastel tutup yang asli, atau Shepherd's Pie, mengolah kentang tumbuk dengan susu dan keju sehingga lunak dan lembut. 

Pastinya jadi sulit dikemas ya? Nah, agar mudah dipanggang dan berdiri kokoh,  pembuat Songgo Buwono ini menyampur kentang tumbuk dengan tepung terigu.

Demikian pula saus mustardnya sangat kental dan rasanya cenderung manis. Namun secara keseluruhan Songgo Buwono ini mirip pastel tutup versi lidah wong Jowo. 😊😊

Baca juga:
Resep Kaastengel, dan Tips Oleh-Oleh Anti Boncos 

Mengintip Malam di Hotel Aryaduta Bandung


7 comments

  1. Kue soes aja udah enak, apalagi Songgo Buwono ini..
    Melihat dan baca deskripsinya, serasa penganannya ada di depan mata, padahal saya belum pernah mencobanya huhu. InsyaAllah bisa suatu saat nyobain secara langsung.

    ReplyDelete
  2. Tampilannya Songgo Buwono terlihat modern walaupun ini termasuk makanan tradisional di Yogyakarta.

    Btw kata tenong yang merujuk pada wadah makanan, jadi ingat nenek dulu suka bilang ambil makanan dalam tetenong. Mungkin maksudnya Tenong ini kali ya

    ReplyDelete
  3. Saya jadi ngiler nih liat gambarnya aja. Penyajiannya juga cantik. Ternyata Songgo Bowono artinya adalah penyangga kehidupan. Dulunya ini adalah makanan mewah yang dinikmati para bangsawan di Yogyakarta. Kalau ke Yogyakarta saya mau cari makanan ini, penasaran pengen nyobain rasanya langsung

    ReplyDelete
  4. Songgo Buwono sayangnya baru ada di Yogyakarta ya, Ambu? Beneran menu camilan ini baru saya dengar. Eh camilan atau makanan utama ya, hehehe. Tapi kalau dari yang Ambu tulis, pasti saya suka. Karena isinya ragut dan mirip pastel

    ReplyDelete
  5. Songgo Buwono sayangnya baru ada di Yogyakarta ya, Ambu? Beneran menu camilan ini baru saya dengar. Eh camilan atau makanan utama ya, hehehe. Tapi kalau dari yang Ambu tulis, pasti saya suka. Karena isinya ragut dan mirip pastel

    ReplyDelete
  6. Sering banget ke Jogja tapi baru tahu ada kuliner Songgo Buono, menarik ini. Bisa jadi saingan gudheg ya, Kak.

    ReplyDelete
  7. Aku baru tahu Songgo Buwono ini. Namanya punya filosofi yang dalam Dan tampilannya juga cantik banget. Semoga suatu saat bisa mencicipi kuliner ini juga.

    ReplyDelete